Saya sering mendengar ucapan-ucapan dari ustadz-ustadz, ustadzah,
guru saya waktu SD, orang-orang, dan perkataan ibu saya sendiri yang cukup narsis dan sok PD menyatakan bahwa seorang
ibu itu tangguh. Hmm...Memang sih pernyataan seperti itu tidak pantas untuk
disangkal. Banyak cerita dan banyak kisah yang sudah terpampang jelas tentang
ketangguhan seorang ibu. TAPI? Apa semua ibu itu tangguh? Jawabnya: TIDAK!
Karena kalau “semua “ maka secara makna berarti tidak ada satu ibu pun yang
tidak tangguh. Pada faktanya didunia ini tidak 100% dihuni orang baik.
Oke saya hanya menceritakan satu segmen saja dari beberapa
pengalaman saya. Yes, this is true story.
Pada waktu itu, saya sedang berjaga di stase
interna/penyakit dalam. Stase besar yang cukup sibuk dengan pasien yang banyak.
Maklum, banyak penyakit-penyakit “mak jelas” (red:gak jelas) di larikan ke
bagian ini. Sebagai seorang dokter muda, saya biasa memeriksa pasien dan hingga
pada satu titik saya bertemu pasien yang bisa saya ceritakan.
Seorang laki-laki terkapar lemas di tempat tidur pasien,
matanya cekung, berwarna kuning, bibir pecah-pecah, lemak kulit sangat tipis alias badan sangat
kurus namun perutnya membuncit. Saya periksa perutnya dan ternyata berisi
timbunan air. Hati membesar. Saya curiga pasien menderita Sirosis Hepatis.
Pasien menyatakan bahwa pasien sangat sering meminum-minuman keras. Pasien juga
menyatakan ayahnya juga meninggal dengan keluhan yang sama dengan pasien. Adik
pasien juga sudah meninggal karena penyakit hati. Saya menanyakan keberadaan
istri pasien. Pasien belum menikah. Saya periksa data laboraturium rekam medis,
semuanya mengarah ke sirosis hepatis.
Sambil membaca data rekam medis, tiba-tiba seorang ibu tua
menghampiri saya. Raut wajahnya menunjukkan kesedihan, pandangannya sayu,
garis-garis keriput sudah banyak menghiasi wajahnya, tidak terhitung. Ibu
tersebut menanyakan kondisi anaknya dan apakah penyakit anaknya dapat
disembuhkan. Setelah saya pastikan identitasnya, ibu tua ini adalah ibu dari
seorang laki-laki yang baru saja saya deskripsikan diatas. Sebagai seorang
dokter muda yang masih seumur bibit jagung, tentu saya masih banyak menahan informasi yang
sifatnya hanya teoritis tetapi bukan memberi informasi yang tidak sesuai.
Esok harinya, ibu itu masih mengulang pertanyaan yang sama. Saya
menjawab seperti biasa, tidak ada yang istimewa menurut saya. Esok harinya
lagi, ibu tersebut menanyakan hal yang sama. Saya juga menjawab hal secara sama
dan melakukan pengobatan terhadap pasien sesuai prosedur RS. Begitu terus
menerus berulang-ulang. Hingga seminggu kemudian ketika saya akan memeriksa
pasien, saya melihat ibu tersebut sedang terkapar lemas di bed pasien
sebelahnya. Ibu tersebut minta maaf karena tidur diatas bed pasien sebelah karena
merasa sakit. Saya sih mempersilakan saja tidur di atas bed karena memang tidak ada
pasien.
“Bu, kok sendirian saja menjaga anaknya? Kalau sendirian
saja ya nanti ibu capek dan jatuh sakit loh...Dan kayaknya ibu ini nggak pulang-pulang ya? Hehehe..” , tanyaku sambil
sedikit bercanda.
Pertanyaan singkat ini dijawab dengan menyatakan bahwa ia memang
menjaga anaknya sendirian karena ia sudah
tak memiliki keluarga lagi. Suaminya sudah meninggal dan seorang anaknya juga
sudah meninggal. Dia hanya hidup berdua saja dengan anaknya yang sedang dirawat
ini. Ia juga menyatakan badannya agak meriang,
kemungkinan karena lelah ucapnya.
Setelah memeriksa pasien, saya memutuskan untuk memeriksa
ibu yang sedang sakit ini. Sambil diperiksa, saya berbincang dengan si ibu. Ibu
ini menyatakan bahwa ia memang tidak pulang-pulang sejak seminggu ini
karena tidak ada ongkos juga, ia mungkin akan pulang minggu depan saja (rencananya
berjalan kaki ke daerah Sukarame). Ibu
juga menyatakan bahwa sebenarnya ia memang tidak ada keinginan pulang karena di
rumah sudah tidak ada apa-apa. Ia lebih nyaman berada di RS menunggu anaknya.
Saya jadi maklum kenapa ibu ini sering bertanya tentang
kondisi anaknya. Dan mungkin sedikit lebih memahami. Secara nyata, ibu ini juga
menyatakan bahwa ia merasa takut “ditinggal” (lagi) . Ia menyatakan bahwa ia sudah
merasa sangat pedih saat ditinggal suaminya dan anaknya yang bungsu. Ia tidak
mau “ditinggal” untuk ketiga kalinya. Ia takut menjadi sebatang kara.
Ada beberapa pertanyaan yang meluncur dari pikian saya. Poin-poin
utamanya adalah;
Kalau tidak bekerja, darimana makan?
Dari sisa porsi anaknya.
Cukupkah? TIDAK.
Jadi? MENAHAN LAPAR.
Tidak bekerja saja dulu? TIDAK. TAKUT “DITINGGAL” ANAK.
Anaknya nakal atau tidak? NAKAL
Kenapa tidak ditinggal saja? SAYANG.
Saya juga menanyakan dan berbincang tentang berbagai hal
lain yang tidak mungkin dituliskan dalam blog ini karena sangking panjangnya. Percakapan
hari itu saya tutup karena masih banyak pasien lain yang harus saya periksa.
Malam harinya saya menemui ibu itu kembali karena ada
semacam panggilan hati. Saya lalu membina sambung rasa, berbicang-bincang, dan pertemuan malam itu disertai memberi sedikit rezeki yang lebih.
Doa saya, “semoga ibu selalu dikuatkan” karena saya tahu, “ibu kuat”
Apakah ibu ini tangguh?
Kembali ke subjektivitas saya. Mungkin iya. Sisanya terserah anda
No comments:
Post a Comment