Thursday, 26 February 2015

Apakah seorang ibu itu benar-benar tangguh? TRUE STORY..



Saya sering mendengar ucapan-ucapan dari ustadz-ustadz, ustadzah, guru saya waktu SD, orang-orang, dan perkataan ibu saya sendiri yang  cukup narsis dan sok PD menyatakan bahwa seorang ibu itu tangguh. Hmm...Memang sih pernyataan seperti itu tidak pantas untuk disangkal. Banyak cerita dan banyak kisah yang sudah terpampang jelas tentang ketangguhan seorang ibu. TAPI? Apa semua ibu itu tangguh? Jawabnya: TIDAK! Karena kalau “semua “ maka secara makna berarti tidak ada satu ibu pun yang tidak tangguh. Pada faktanya didunia ini tidak 100% dihuni orang baik.

Oke saya hanya menceritakan satu segmen saja dari beberapa pengalaman saya. Yes, this is true story.

Pada waktu itu, saya sedang berjaga di stase interna/penyakit dalam. Stase besar yang cukup sibuk dengan pasien yang banyak. Maklum, banyak penyakit-penyakit “mak jelas” (red:gak jelas) di larikan ke bagian ini. Sebagai seorang dokter muda, saya biasa memeriksa pasien dan hingga pada satu titik saya bertemu pasien yang bisa saya ceritakan.

Seorang laki-laki terkapar lemas di tempat tidur pasien, matanya cekung, berwarna kuning, bibir pecah-pecah,  lemak kulit sangat tipis alias badan sangat kurus namun perutnya membuncit. Saya periksa perutnya dan ternyata berisi timbunan air. Hati membesar. Saya curiga pasien menderita Sirosis Hepatis. Pasien menyatakan bahwa pasien sangat sering meminum-minuman keras. Pasien juga menyatakan ayahnya juga meninggal dengan keluhan yang sama dengan pasien. Adik pasien juga sudah meninggal karena penyakit hati. Saya menanyakan keberadaan istri pasien. Pasien belum menikah. Saya periksa data laboraturium rekam medis, semuanya mengarah ke sirosis hepatis.

Sambil membaca data rekam medis, tiba-tiba seorang ibu tua menghampiri saya. Raut wajahnya menunjukkan kesedihan, pandangannya sayu, garis-garis keriput sudah banyak menghiasi wajahnya, tidak terhitung. Ibu tersebut menanyakan kondisi anaknya dan apakah penyakit anaknya dapat disembuhkan. Setelah saya pastikan identitasnya, ibu tua ini adalah ibu dari seorang laki-laki yang baru saja saya deskripsikan diatas. Sebagai seorang dokter muda yang masih seumur bibit jagung, tentu saya masih banyak menahan informasi yang sifatnya hanya teoritis tetapi bukan memberi informasi yang tidak sesuai.

Esok harinya, ibu itu masih mengulang pertanyaan yang sama. Saya menjawab seperti biasa, tidak ada yang istimewa menurut saya. Esok harinya lagi, ibu tersebut menanyakan hal yang sama. Saya juga menjawab hal secara sama dan melakukan pengobatan terhadap pasien sesuai prosedur RS. Begitu terus menerus berulang-ulang. Hingga seminggu kemudian ketika saya akan memeriksa pasien, saya melihat ibu tersebut sedang terkapar lemas di bed pasien sebelahnya. Ibu tersebut minta maaf karena tidur diatas bed pasien sebelah karena merasa sakit.  Saya sih mempersilakan saja tidur di atas bed karena memang tidak ada pasien.

“Bu, kok sendirian saja menjaga anaknya? Kalau sendirian saja ya nanti ibu capek dan jatuh sakit loh...Dan kayaknya ibu ini nggak pulang-pulang ya? Hehehe..” , tanyaku sambil sedikit bercanda.
Pertanyaan singkat ini dijawab dengan menyatakan bahwa ia memang menjaga anaknya sendirian karena ia sudah tak memiliki keluarga lagi. Suaminya sudah meninggal dan seorang anaknya juga sudah meninggal. Dia hanya hidup berdua saja dengan anaknya yang sedang dirawat ini. Ia juga menyatakan badannya agak meriang, kemungkinan karena lelah ucapnya. 

Setelah memeriksa pasien, saya memutuskan untuk memeriksa ibu yang sedang sakit ini. Sambil diperiksa, saya berbincang dengan si ibu. Ibu ini  menyatakan bahwa ia  memang tidak pulang-pulang sejak seminggu ini karena tidak ada ongkos juga, ia mungkin akan pulang minggu depan saja (rencananya berjalan kaki ke daerah Sukarame).  Ibu juga menyatakan bahwa sebenarnya ia memang tidak ada keinginan pulang karena di rumah sudah tidak ada apa-apa. Ia lebih nyaman berada di RS menunggu anaknya.

Saya jadi maklum kenapa ibu ini sering bertanya tentang kondisi anaknya. Dan mungkin sedikit lebih memahami. Secara nyata, ibu ini juga menyatakan bahwa ia merasa takut “ditinggal” (lagi) . Ia menyatakan bahwa ia sudah merasa sangat pedih saat ditinggal suaminya dan anaknya yang bungsu. Ia tidak mau “ditinggal” untuk ketiga kalinya. Ia takut menjadi sebatang kara.

Ada beberapa pertanyaan yang meluncur dari pikian saya. Poin-poin utamanya adalah;
Kalau tidak bekerja, darimana makan?
Dari sisa porsi anaknya.
Cukupkah? TIDAK.
Jadi?  MENAHAN LAPAR.
Tidak bekerja saja dulu? TIDAK. TAKUT “DITINGGAL” ANAK.
Anaknya nakal atau tidak? NAKAL
Kenapa tidak ditinggal saja? SAYANG.

Saya juga menanyakan dan berbincang tentang berbagai hal lain yang tidak mungkin dituliskan dalam blog ini karena sangking panjangnya. Percakapan hari itu saya tutup karena masih banyak pasien lain yang harus saya periksa.

Malam harinya saya menemui ibu itu kembali karena ada semacam panggilan hati. Saya lalu membina sambung rasa, berbicang-bincang,  dan pertemuan malam itu  disertai memberi sedikit rezeki yang lebih. Doa saya, “semoga ibu selalu dikuatkan” karena saya tahu, “ibu kuat”

Apakah ibu ini tangguh?

Kembali ke subjektivitas saya. Mungkin iya. Sisanya terserah anda


No comments:

Post a Comment